Penembakan Siswa di Semarang: Aipda Robig Mengaku Tak Terancam saat Menembak
Peristiwa penembakan yang terjadi di Kota Semarang pada awal Juni 2025 menimbulkan keprihatinan publik secara luas.
Insiden ini melibatkan seorang anggota kepolisian, Aipda Robig, yang menembak seorang siswa hingga mengalami luka serius.
Kasus ini mendapat perhatian besar, terutama setelah pernyataan dari pelaku bahwa ia tidak dalam kondisi terancam ketika melepaskan tembakan.

Kronologi Kejadian
Menurut keterangan pihak kepolisian dan sejumlah saksi, peristiwa bermula saat Aipda Robig tengah melaksanakan patroli di kawasan padat penduduk.
Di lokasi kejadian, ia melihat sekelompok remaja yang sedang berkumpul di sebuah gang.
Di antara mereka terdapat korban, seorang siswa SMA, yang saat itu tidak sedang melakukan tindakan kriminal maupun ancaman kekerasan.
Tanpa ada peringatan terlebih dahulu, terdengar suara tembakan yang mengenai tubuh korban.
Warga sekitar yang panik segera memberikan pertolongan dan membawa korban ke rumah sakit terdekat.
Kondisinya dilaporkan stabil, namun luka yang dialami cukup parah sehingga memerlukan perawatan intensif.
Pengakuan Aipda Robig yang Mengejutkan
Dalam pemeriksaan awal oleh Propam dan tim penyidik, Aipda Robig mengaku bahwa ia merasa curiga terhadap aktivitas para remaja tersebut.
Akan tetapi, dalam pernyataan yang kemudian beredar ke publik, ia justru mengatakan bahwa saat menembak, dirinya tidak sedang dalam situasi terancam.
Pengakuan ini sontak menuai kritik keras dari masyarakat, pengamat hukum, dan lembaga perlindungan anak.
Tindakan penembakan yang dilakukan tanpa alasan yang jelas dan di luar prosedur operasional standar dinilai sebagai
pelanggaran serius terhadap etika profesi dan hak asasi manusia. Sejumlah pihak menilai bahwa alasan
kecurigaan” saja tidak cukup kuat untuk membenarkan penggunaan senjata api, apalagi terhadap warga sipil yang tidak bersenjata.
Reaksi Komnas HAM dan Kompolnas
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyatakan keprihatinannya atas insiden ini.
Keduanya mendesak agar proses penyelidikan dilakukan secara transparan dan tuntas. Komnas HAM juga mengingatkan bahwa
aparat kepolisian memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keamanan publik tanpa melanggar hak-hak dasar warga negara.
Kompolnas dalam pernyataannya menggarisbawahi pentingnya pelatihan ulang terhadap anggota kepolisian dalam hal
penggunaan senjata api dan pendekatan terhadap masyarakat, terutama anak-anak dan remaja. Pelanggaran seperti ini dinilai dapat merusak citra kepolisian secara keseluruhan.
Tanggapan Keluarga Korban
Pihak keluarga korban menyampaikan rasa sedih dan kecewa mendalam atas kejadian tersebut. Orang tua korban menegaskan
bahwa anak mereka tidak pernah terlibat dalam tindak kriminal dan dikenal sebagai siswa yang baik.
Mereka juga menyatakan bahwa anak mereka hanya sedang berkumpul bersama teman-temannya seperti biasa sepulang sekolah.
“Kami sangat hancur. Anak kami tidak salah. Dia hanya sedang duduk dan berbincang bersama teman-temannya. Kami menuntut keadilan,” ujar ayah korban kepada media.
Gelombang Protes dari Masyarakat
Tidak hanya keluarga korban, masyarakat pun menyuarakan protes mereka. Sejumlah organisasi masyarakat sipil, aktivis
dan mahasiswa di Semarang mengadakan aksi damai di depan kantor kepolisian setempat. Mereka membawa poster bertuliskan
Lindungi Anak, Bukan Tembak Anak” dan “Stop Brutalitas Aparat”.
Aksi ini bertujuan mendesak pihak kepolisian untuk menindak tegas pelaku dan memperbaiki sistem pengawasan internal.
Tindakan dari Kepolisian
Kapolda Jawa Tengah merespons tekanan publik dengan langkah cepat.
Aipda Robig resmi dinonaktifkan dari jabatannya dan ditahan untuk menjalani proses pemeriksaan internal dan pidana.
Kapolda juga menjanjikan proses hukum yang adil dan transparan.
“Kami tidak akan mentolerir setiap bentuk pelanggaran prosedur. Penegakan hukum harus berlaku kepada siapa pun, termasuk anggota kepolisian,” ujar Kapolda dalam konferensi pers.
Pentingnya Evaluasi dan Reformasi
Insiden ini kembali memunculkan urgensi reformasi di tubuh kepolisian, terutama dalam hal pelatihan penggunaan kekuatan secara proporsional dan pendekatan yang humanis.
Pengamat kepolisian dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Reza Wibowo, menyatakan bahwa tindakan berlebihan
oleh aparat tidak hanya melanggar hukum, tapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap institusi negara.
“Harus ada perubahan pendekatan. Polisi bukan hanya alat represif negara, tapi juga pelayan masyarakat.
Ketika senjata digunakan tanpa ancaman nyata, itu adalah kegagalan sistemik,” ujarnya.
Baca juga:Piala Dunia Antarklub 2025 Banjir Kritikan
Penutup
Kasus penembakan siswa di Semarang menjadi pengingat bahwa kewenangan harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Penggunaan senjata api bukanlah keputusan sepele, apalagi jika menyasar anak-anak. Publik kini menanti keadilan ditegakkan dan berharap kejadian serupa tidak akan pernah terulang.