Mengapa Pembahasan RUU KUHAP Sekadar Partisipasi Formalitas
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali menjadi sorotan publik.
Pemerintah dan DPR RI menyatakan keseriusannya dalam membahas revisi yang sudah lama tertunda ini. Namun, dalam proses pembahasan tersebut,
muncul kritik dari berbagai kalangan masyarakat sipil, akademisi, hingga praktisi hukum yang menilai bahwa partisipasi publik dalam proses legislasi RUU KUHAP hanya bersifat formalitas belaka.
RUU KUHAP merupakan regulasi yang sangat penting karena menjadi landasan sistem peradilan pidana nasional
, mengatur hak-hak tersangka, penyidik, penuntut umum, hakim, hingga lembaga peradilan. Karena dampaknya yang luas
terhadap kehidupan warga negara dan penegakan hukum, pembahasannya seharusnya dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna dan bukan sekadar prosedural.
Mengapa Pembahasan RUU KUHAP Sekadar Partisipasi Formalitas
Salah satu kritik utama terhadap proses pembahasan RUU KUHAP adalah minimnya akses informasi yang diberikan kepada publik. Draft resmi RUU KUHAP sulit diakses secara luas dan tidak dipublikasikan dengan baik oleh DPR maupun pemerintah. Akibatnya, masyarakat tidak bisa memberikan masukan atau melakukan analisis kritis terhadap pasal-pasal yang sedang dibahas.
Kondisi ini membuat proses legislasi terkesan tertutup. Meskipun ada beberapa forum dengar pendapat umum yang melibatkan akademisi atau perwakilan organisasi masyarakat sipil, kehadiran mereka kerap hanya sebagai pelengkap formal yang tidak benar-benar memengaruhi substansi isi rancangan undang-undang tersebut.
Partisipasi Publik Hanya Bersifat Simbolik
Kritik berikutnya adalah bahwa undangan kepada masyarakat sipil dan pakar hukum dalam proses pembahasan lebih bersifat seremonial dan simbolik,
bukan sebagai bagian dari dialog substansial. Masukan yang diberikan sering kali tidak dicatat atau ditindaklanjuti secara serius oleh panitia kerja (panja) di DPR.
Kondisi ini mencerminkan rendahnya kualitas demokrasi deliberatif dalam proses legislasi. Publik sebagai pemangku kepentingan
utama dalam sistem hukum pidana tidak diberikan ruang yang layak untuk ikut serta membentuk aturan yang kelak mengatur kehidupan hukum mereka sendiri.
Potensi Pasal-Pasal Bermasalah dalam RUU KUHAP
Tanpa adanya keterlibatan publik yang memadai, potensi munculnya pasal-pasal bermasalah dalam RUU KUHAP sangat besar.
Beberapa draf terdahulu bahkan mengandung ketentuan yang berisiko melemahkan perlindungan hak tersangka,
memperkuat kewenangan aparat tanpa pengawasan, serta melemahkan prinsip fair trial dalam sistem peradilan pidana.
Tanpa partisipasi bermakna dari publik, maka kekhawatiran ini sulit ditepis. Padahal, dalam negara demokratis, hukum acara pidana adalah instrumen
penting yang menjamin hak asasi manusia dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.
Kebutuhan Akan Legislasi yang Transparan dan Inklusif
Untuk menciptakan RUU KUHAP yang benar-benar mencerminkan semangat keadilan, perlu ada perubahan pendekatan dalam proses pembahasannya. Pemerintah dan DPR harus membuka ruang dialog yang transparan dan inklusif, bukan hanya melalui forum formal, tetapi juga dengan mengunggah draft secara terbuka, mengundang masukan publik melalui kanal daring, dan menyerap aspirasi dari kelompok terdampak langsung, seperti korban, tersangka, dan praktisi hukum.
Prinsip partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang bukan hanya amanat konstitusi, tetapi juga syarat mutlak untuk menciptakan regulasi yang legitimate, dapat diterima, dan efektif saat diterapkan.
Penutup: Jangan Jadikan Partisipasi Sekadar Formalitas
Jika proses legislasi hanya dijalankan atas nama formalitas, maka hasil akhirnya pun akan kehilangan legitimasi di mata publik.
Pembahasan RUU KUHAP harus dilakukan secara terbuka, partisipatif, dan berdasarkan prinsip akuntabilitas.
Keterlibatan masyarakat sipil bukan ancaman, melainkan kekuatan untuk memastikan kualitas produk hukum yang dihasilkan benar-benar berpihak pada keadilan dan hak asasi manusia.
Baca juga:Koster Minta Insentif Infrastruktur, Wamendagri Sebut Perlu Kriteria Jelas