Jaksa Heran Lihat Pleidoi Hakim Heru Pembebas Ronald Tannur: Kontradiktif

Jaksa Heran Lihat Pleidoi Hakim Heru Pembebas Ronald Tannur: Kontradiktif

Kasus kematian Dini Andriana, perempuan muda yang meninggal secara tragis setelah mengalami kekerasan fisik, kembali mencuat ke publik usai putusan kontroversial hakim Heru yang membebaskan terdakwa utama, Ronald Tannur, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya. Putusan tersebut sontak menimbulkan tanda tanya besar dari berbagai kalangan, terutama dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menganggap bahwa pleidoi dan pertimbangan hakim sangat kontradiktif dengan fakta-fakta persidangan yang telah dipaparkan selama proses hukum berlangsung.

Kasus ini pun menyedot perhatian luas masyarakat dan aktivis hukum yang menilai bahwa putusan tersebut mencederai rasa keadilan korban. Berikut adalah ulasan lengkap mengenai kejanggalan dalam pleidoi hakim, reaksi jaksa, serta implikasi hukum dari kasus ini.

Jaksa Heran Lihat Pleidoi Hakim Heru Pembebas Ronald Tannur: Kontradiktif
Jaksa Heran Lihat Pleidoi Hakim Heru Pembebas Ronald Tannur: Kontradiktif

Jaksa Heran Lihat Pleidoi Hakim Heru Pembebas Ronald Tannur: Kontradiktif

Peristiwa tragis yang menimpa Dini Andriana terjadi pada September 2023 di sebuah apartemen di Surabaya. Korban ditemukan dalam kondisi penuh luka memar dan tidak sadarkan diri. Setelah dilarikan ke rumah sakit, ia dinyatakan meninggal dunia. Berdasarkan hasil autopsi dan penyelidikan awal, terdapat indikasi kuat bahwa korban mengalami penganiayaan berat yang menyebabkan kematian.

Ronald Tannur, putra dari seorang anggota DPR RI, ditetapkan sebagai tersangka utama. Proses penyidikan menunjukkan adanya rekaman CCTV, keterangan saksi, serta barang bukti yang menguatkan dugaan bahwa Ronald memiliki keterlibatan langsung dalam kekerasan terhadap korban.


Pleidoi Hakim Heru: Pembebasan yang Mengejutkan Publik

Namun, dalam sidang putusan yang digelar pada April 2025, majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Heru memutuskan untuk membebaskan Ronald Tannur dari dakwaan pembunuhan atau penganiayaan yang menyebabkan kematian. Putusan tersebut didasarkan pada pleidoi yang menyatakan bahwa:

  • Tidak terdapat niat pembunuhan dari terdakwa.

  • Luka yang dialami korban dianggap tidak cukup membuktikan bahwa pelaku berniat menyebabkan kematian.

  • Unsur kesengajaan tidak terpenuhi secara hukum.

Putusan ini sontak menimbulkan kehebohan dan reaksi keras dari publik, karena bertolak belakang dengan ekspektasi keadilan bagi keluarga korban.


Jaksa: Pleidoi Hakim Bertentangan dengan Fakta Persidangan

Menanggapi putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum menyatakan keheranannya atas pertimbangan hakim yang dinilai kontradiktif dan mengabaikan banyak bukti yang telah diajukan. Dalam keterangannya, jaksa menyampaikan beberapa poin penting:

  • CCTV memperlihatkan adanya tindak kekerasan secara berulang dari terdakwa terhadap korban.

  • Keterangan saksi menyebut adanya teriakan korban serta permintaan tolong yang diabaikan.

  • Hasil visum menunjukkan luka di kepala, wajah, dan bagian tubuh lainnya, yang tidak mungkin timbul akibat “insiden biasa”.

Jaksa menyatakan bahwa dari semua bukti yang dihadirkan, seharusnya terdapat cukup dasar untuk menjerat terdakwa dengan Pasal 351 ayat 3 KUHP (penganiayaan yang menyebabkan kematian), atau bahkan pasal yang lebih berat.


Argumentasi Jaksa: Kejanggalan Logika Hukum dalam Pleidoi

Jaksa menilai bahwa pertimbangan hakim terlalu mengedepankan asumsi subjektif, bukan logika hukum yang berdasarkan pada alat bukti. Beberapa kejanggalan dalam pleidoi yang disorot antara lain:

  • Hakim menyatakan bahwa tidak ada saksi yang melihat Ronald memukul korban secara langsung, padahal rekaman CCTV dan hasil forensik sudah cukup untuk menegaskan dugaan kekerasan.

  • Pleidoi menyebutkan bahwa korban dalam kondisi “masih bisa berjalan” usai kejadian, namun justru meninggal beberapa saat kemudian. Hal ini dinilai jaksa sebagai manipulasi narasi yang tidak sesuai realitas medis.

  • Hakim menggunakan dalih “tidak cukup bukti” atas niat jahat, padahal hukum pidana Indonesia mengenal doktrin dolus eventualis (niat yang disertai kesadaran akibat), yang bisa dikenakan pada kasus seperti ini.


Reaksi Publik: Kekecewaan dan Tagar #KeadilanUntukDini

Setelah putusan hakim diumumkan, berbagai reaksi keras bermunculan di media sosial. Tagar seperti #KeadilanUntukDini, #RonaldTannur, dan #MajelisHakimHeru sempat menjadi trending topic di platform seperti Twitter dan Instagram.

Berbagai organisasi perempuan, lembaga bantuan hukum, hingga tokoh masyarakat menyayangkan putusan ini dan menyebutnya sebagai tamparan keras bagi korban kekerasan domestik di Indonesia.

“Ini adalah preseden buruk. Korban sudah tidak bisa membela diri, dan kini sistem hukum juga gagal melindunginya,” ujar seorang aktivis hukum dari LSM Kontras.

Baca juga:Bentrokan Bersenjata Antar Kelompok Terjadi di Kemang


Pengamat Hukum: Ini Bisa Jadi Bumerang bagi Kredibilitas Peradilan

Sejumlah pengamat hukum juga turut angkat bicara. Menurut Prof. Hermawan, guru besar hukum pidana, keputusan ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan jika tidak dikoreksi di tingkat yang lebih tinggi.

Ia menilai bahwa pertimbangan hakim terlalu lemah dan tidak memberikan penjelasan memadai terhadap bukti yang telah dikemukakan selama persidangan.

“Kalau setiap kekerasan bisa disimpulkan sebagai ‘tidak sengaja’ hanya karena korban masih bisa berdiri, maka artinya hukum bisa ditafsirkan sesuka hati,” tegasnya.


Upaya Hukum Lanjutan: Jaksa Siapkan Banding

Menanggapi keputusan tersebut, Kejaksaan telah secara resmi menyatakan akan mengajukan banding. Jaksa menilai bahwa pembebasan terdakwa tidak sesuai dengan proses pembuktian selama persidangan dan bisa membahayakan prinsip keadilan bagi masyarakat.

Tim kejaksaan tengah mempersiapkan memori banding dan sejumlah bukti baru yang dapat memperkuat argumentasi di tingkat pengadilan tinggi. Harapannya, putusan tersebut dapat dibatalkan atau dikoreksi demi keadilan bagi korban dan keluarganya.


Kesimpulan: Putusan yang Memicu Kontroversi dan Evaluasi Hukum

Kasus pembebasan Ronald Tannur oleh hakim Heru menjadi salah satu titik kritis dalam sistem peradilan Indonesia. Di saat masyarakat semakin vokal menuntut keadilan bagi korban kekerasan, munculnya keputusan yang dianggap lemah secara hukum dan tidak berperspektif korban menjadi bumerang yang memperkuat stigma bahwa hukum kerap tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Kini, seluruh perhatian publik tertuju pada proses banding dan kemungkinan koreksi di tingkat pengadilan lebih tinggi. Kasus ini tidak hanya soal satu terdakwa dan satu korban, melainkan menyangkut integritas lembaga peradilan dan harapan masyarakat akan keadilan yang merata tanpa pandang bulu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

saya bukan robot *Time limit exceeded. Please complete the captcha once again.

Back To Top