Perpanjangan Batas Pensiun ASN Hambat Regenerasi Birokrasi Ateng Sutisna, menyampaikan pandangannya terkait wacana perpanjangan usia pensiun bagi aparatur sipil negara (ASN). Ia menilai bahwa gagasan tersebut berpotensi menimbulkan berbagai persoalan struktural dalam birokrasi, termasuk menghambat proses regenerasi, memperparah ketimpangan dalam distribusi jabatan, serta berdampak terhadap kesejahteraan ASN secara keseluruhan.
Dalam pernyataan resmi yang diterima di Jakarta pada hari Senin, Ateng menyatakan ketidaksetujuannya terhadap wacana tersebut. Menurutnya, ASN merupakan abdi negara yang terikat pada mekanisme dan sistem kenegaraan, sehingga terdapat batasan usia kerja yang semestinya dihormati sebagai bagian dari siklus karier yang wajar.
“Saya secara pribadi tidak sejalan dengan rencana memperpanjang batas usia pensiun bagi ASN. Negara ini bukan milik pribadi yang bisa dikelola tanpa batas. Jika Anda pemilik usaha swasta, Anda bebas bekerja selama yang Anda inginkan. Namun, ASN bekerja untuk kepentingan negara dan rakyat, sehingga ada aturan dan siklus pengabdian yang harus dijaga dan dihormati,” ujar Ateng.
Perpanjangan Batas Pensiun ASN Di 2025
Ia menegaskan bahwa masa pensiun bagi ASN bukanlah sekadar akhir dari masa kerja, melainkan bentuk penghargaan atas dedikasi selama bertahun-tahun dalam melayani masyarakat dan negara. Pensiun, menurutnya, merupakan fase alami yang semestinya diterima dengan rasa syukur, bukan dianggap sebagai bentuk kehilangan peran.
“Pensiun seharusnya dimaknai sebagai penghormatan atas pengabdian, bukan sebagai akhir yang menyedihkan. Ini juga merupakan kesempatan untuk menikmati hasil kerja keras selama puluhan tahun serta berkontribusi dalam ruang sosial yang berbeda,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ateng mengutip data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tahun 2023 yang menunjukkan bahwa klaim pelayanan kesehatan untuk ASN berusia di atas 60 tahun mencapai tingkat pengeluaran yang jauh lebih tinggi, yakni 2,3 kali lipat dibandingkan kelompok usia 40 hingga 55 tahun. Temuan ini menurutnya menjadi indikasi bahwa memperpanjang usia pensiun justru akan membebani negara dari segi anggaran kesehatan.
“Atas dasar data tersebut, sangat jelas bahwa memperpanjang usia pensiun akan berdampak langsung pada meningkatnya beban pembiayaan negara. Selain penurunan produktivitas, negara juga akan dibebani oleh biaya pelayanan kesehatan yang kian membengkak,” ujar Ateng dengan tegas.
Tak hanya persoalan produktivitas dan beban keuangan, Ateng juga menyoroti masalah pengangguran terdidik yang masih tinggi di Indonesia. Menurut data yang ia sampaikan, tingkat pengangguran lulusan pendidikan tinggi, khususnya sarjana dan magister pada rentang usia 20 hingga 30 tahun, tercatat mencapai 12,3 persen.
“Jika usia pensiun diperpanjang, maka ruang masuk bagi generasi muda ke dalam jajaran ASN akan semakin terbatas. Padahal, mereka adalah talenta masa depan yang seharusnya diberi kesempatan untuk berkembang dan mengabdi,” tuturnya.
Hambat Regenerasi Birokrasi
Ia juga mengkritisi ketimpangan struktural yang terjadi di lingkungan ASN, di mana mayoritas posisi strategis dan pengambil keputusan masih didominasi oleh kalangan senior, sementara ASN muda hanya mendapat porsi pada tugas-tugas teknis dan operasional. Ketidakseimbangan tersebut menurutnya bisa memicu demotivasi hingga potensi brain drain dalam birokrasi.
“Ketika ASN muda merasa tidak memiliki ruang untuk berkembang, mereka akan kehilangan semangat untuk berkontribusi. Ini sangat berbahaya bagi masa depan birokrasi yang seharusnya adaptif dan inovatif,” ucapnya.
Sebagai anggota Komisi II DPR RI yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri, pertanahan, dan pemberdayaan aparatur negara, Ateng juga menyinggung perbandingan rasio ASN terhadap jumlah penduduk di Indonesia. Saat ini, rasio tersebut berada pada angka 1 ASN untuk setiap 127 penduduk, yang berarti telah melampaui batas ideal yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yakni 1:100.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah ASN saat ini sudah sangat mencukupi, bahkan melampaui standar internasional. Yang dibutuhkan bukanlah menambah durasi masa kerja, tetapi memperbaiki sistem agar lebih efisien dan adaptif,” paparnya.
Sebagai penutup, Ateng Sutisna menegaskan bahwa solusi terbaik bagi birokrasi Indonesia ke depan bukanlah memperpanjang masa kerja ASN yang mendekati pensiun, melainkan mendorong adanya efisiensi kelembagaan, penerapan teknologi melalui digitalisasi administrasi, serta regenerasi sumber daya manusia di lingkungan pemerintahan.
“Yang kita perlukan saat ini adalah pembaruan sistem, bukan mempertahankan struktur yang sudah usang. Digitalisasi birokrasi dan pembinaan ASN muda harus menjadi prioritas utama. Hanya dengan cara ini kita bisa memastikan bahwa birokrasi kita mampu menjawab tantangan zaman secara efektif dan efisien,” pungkasnya.
Baca Juga : Duka di Ajang Latihan, Pesilat Tewas Usai Terkena Tendangan ke Dada