Terpidana Zina dan Judi Dihukum Cambuk di Lhokseumawe
Dua terpidana kasus pelanggaran syariat Islam, masing-masing terkait perbuatan zina dan perjudian, menjalani hukuman cambuk di halaman Kantor Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, Aceh.
Pelaksanaan hukum cambuk ini kembali menjadi sorotan karena menunjukkan komitmen Pemerintah Aceh dalam menegakkan Qanun Jinayat atau hukum pidana berbasis syariat Islam.
Terpidana Zina dan Judi Dihukum Cambuk di Lhokseumawe
Hukuman cambuk dilakukan secara terbuka dan dihadiri oleh aparat penegak hukum, petugas Wilayatul Hisbah (polisi syariah), serta masyarakat yang ingin menyaksikan.
Proses eksekusi ini berjalan lancar dan sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam qanun.
Petugas pelaksana cambuk, yang dikenal sebagai algojo, menggunakan tongkat rotan sebagai alat eksekusi. Kedua terpidana menjalani hukuman dengan tertunduk
mengenakan pakaian khusus yang menutup bagian tubuh tertentu agar pelaksanaan tetap memperhatikan aspek etika dan tidak melanggar aturan HAM versi lokal.
Pelanggaran Syariat: Zina dan Perjudian
Terpidana pertama adalah seorang pria dewasa yang terbukti melakukan perbuatan zina
Setelah melalui proses hukum di Mahkamah Syar’iyah, ia dijatuhi hukuman cambuk sebanyak 100 kali, sesuai dengan ketentuan dalam Qanun Jinayat.
Sementara itu, terpidana kedua dijatuhi hukuman 45 kali cambuk karena terbukti terlibat dalam aktivitas perjudian. Berdasarkan pemeriksaan dan bukti yang cukup
hakim memutuskan bahwa pelanggaran tersebut memenuhi unsur pidana dalam qanun syariah yang berlaku di Aceh.
Qanun Jinayat sebagai Dasar Hukum
Pelaksanaan hukuman ini didasarkan pada Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, yang mengatur pidana untuk perbuatan seperti zina, khalwat, minuman keras, perjudian, hingga pelecehan seksual.
Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam dalam sistem hukumnya, sesuai dengan status otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Karena itu, pelaksanaan hukum cambuk bukanlah hal baru dan telah dijalankan sejak beberapa tahun terakhir sebagai bentuk pelaksanaan qanun.
Respons Masyarakat dan Pihak Berwenang
Pelaksanaan hukuman cambuk ini mendapat beragam tanggapan dari masyarakat. Sebagian besar warga Lhokseumawe mendukung penerapan hukum syariah secara konsisten
sebagai bentuk pembelajaran dan efek jera bagi pelaku pelanggaran syariat.
Namun demikian, tidak sedikit juga yang menyoroti praktik ini dari sisi hak asasi manusia. Beberapa LSM dan organisasi internasional menyatakan bahwa hukuman cambuk merupakan bentuk perlakuan tidak manusiawi.
Meski begitu, pihak Pemerintah Aceh tetap mempertahankan pelaksanaan qanun sebagai bagian dari kearifan lokal dan kesepakatan masyarakat Aceh pasca konflik.
Pemerintah Menegaskan Komitmen
Pemerintah Kota Lhokseumawe melalui perwakilan Dinas Syariat Islam menyatakan bahwa pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan sesuai prosedur dan prinsip keadilan.
Pihaknya menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi dalam pelaksanaan hukum syariah di wilayah tersebut.
“Ini bukan sekadar hukuman fisik, tapi juga bentuk tanggung jawab moral dan sosial,” ujar salah satu pejabat Dinas Syariat Islam Lhokseumawe.
Dampak Sosial dan Harapan Ke Depan
Pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh masih menjadi topik kontroversial di tingkat nasional maupun internasional.
Namun di Aceh sendiri, banyak yang percaya bahwa penerapan hukum syariah secara tegas dapat mengurangi angka kriminalitas, terutama terkait pergaulan bebas dan praktik perjudian.
Ke depan, pemerintah daerah berharap masyarakat semakin sadar dan menjauh dari perilaku yang melanggar nilai-nilai agama.
Edukasi kepada generasi muda juga dianggap penting untuk mencegah pelanggaran yang bisa berujung pada hukuman berat di bawah qanun syariah.
Kesimpulan
Kasus dua terpidana yang dihukum cambuk karena zina dan perjudian di Lhokseumawe menunjukkan bahwa penerapan syariat Islam masih berjalan konsisten di Aceh.
Meski menuai pro dan kontra, pelaksanaan hukuman ini menjadi pengingat bahwa hukum lokal di Aceh berbeda dari daerah lain di Indonesia
dan berlaku secara sah berdasarkan otonomi khusus. Ke depannya, tantangan terbesar adalah menyeimbangkan penegakan hukum dengan prinsip keadilan, edukasi, dan hak asasi manusia.
Baca juga:Sistem Tiket Kereta Api Sempat Error, Penumpang ‘Serbu’ Stasiun Gambir