Dampak Aksi Jaksa Febrow yang Terus Dirasakan SAD

Dampak Aksi Jaksa Febrow yang Terus Dirasakan SAD

Dampak Aksi Jaksa Febrow yang Terus Dirasakan SAD

Penegakan hukum seharusnya menjadi instrumen keadilan yang memberikan kepastian dan perlindungan bagi

semua warga negara, termasuk kelompok minoritas dan masyarakat adat. Namun, tidak semua proses hukum berjalan tanpa konsekuensi sosial.

Salah satu contoh nyata adalah dampak berkepanjangan dari aksi penegakan hukum yang dilakukan oleh Jaksa Febrow terhadap komunitas Suku Anak Dalam (SAD).

SAD, komunitas adat yang hidup secara nomaden di hutan-hutan Sumatra, kini masih merasakan dampak serius—baik secara sosial, psikologis, hingga ekonomi—dari aksi tersebut.

Dalam artikel ini, kita akan menelusuri latar belakang kasusnya, tindakan hukum yang diambil Jaksa Febrow, serta bagaimana aksi itu membawa perubahan mendalam bagi komunitas SAD.


Siapa Suku Anak Dalam?

Suku Anak Dalam (SAD), juga dikenal sebagai Orang Rimba, merupakan kelompok masyarakat adat yang hidup di wilayah Jambi, Sumatera Selatan, dan sebagian Bengkulu. Mereka hidup secara semi-nomaden dan memiliki hubungan yang erat dengan hutan sebagai ruang hidup, sumber makanan, dan bagian dari identitas budaya mereka.

Sebagai komunitas adat, SAD seringkali berada dalam posisi rentan—baik dalam hal pengakuan hak atas tanah, akses pendidikan, kesehatan, maupun perlindungan hukum. Ketika negara hadir melalui instrumen hukum, hubungan yang kompleks pun sering kali muncul.


Aksi Jaksa Febrow: Kronologi Singkat

Jaksa Febrow, seorang jaksa senior di Kejaksaan Negeri di wilayah Jambi, terlibat dalam proses penegakan hukum atas kasus dugaan penyerobotan lahan negara dan pembalakan liar di kawasan hutan yang dihuni SAD. Dalam upaya tersebut, dilakukan penyitaan lahan, penangkapan beberapa warga SAD, serta pembongkaran pondok-pondok yang dianggap ilegal.

Aksi ini dilakukan dengan dasar bahwa kawasan tersebut merupakan hutan produksi milik negara yang dilindungi oleh Undang-Undang Kehutanan, dan segala bentuk pemanfaatan tanpa izin dianggap melanggar hukum.

Namun, dalam praktiknya, wilayah tersebut sudah lama menjadi bagian dari ruang hidup SAD. Mereka tidak memiliki dokumen formal, tetapi punya ikatan sejarah dan budaya yang kuat dengan lahan tersebut.


Dampak Langsung: Ketidakpastian dan Ketakutan

1. Kehilangan Tempat Tinggal

Setelah pondok-pondok dihancurkan, banyak anggota SAD kehilangan tempat berlindung. Mereka terpaksa berpindah ke lokasi lain, bahkan ke pinggir-pinggir jalan, yang bukan merupakan habitat alami mereka. Perpindahan ini membuat mereka rawan terhadap penyakit, konflik sosial, serta kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.

2. Ketakutan Terhadap Hukum

Penangkapan dan proses hukum yang dilakukan terhadap beberapa anggota SAD menciptakan trauma kolektif. Banyak dari mereka kini merasa takut untuk kembali ke hutan, takut ditangkap, atau merasa diawasi. Hal ini menurunkan rasa aman dan mengganggu keberlangsungan hidup komunitas.

3. Putusnya Akses Ekonomi Tradisional

SAD yang biasanya menggantungkan hidup dari hasil hutan seperti madu, rotan, dan berburu, kini kesulitan mengakses sumber daya tersebut karena kawasan dianggap sebagai wilayah negara yang terlarang. Dampaknya, ketahanan pangan komunitas menurun drastis.


Respon dan Kritik dari LSM serta Akademisi

Berbagai organisasi masyarakat sipil, aktivis hak asasi manusia, dan akademisi mengecam aksi penegakan hukum yang dianggap tidak sensitif terhadap konteks sosial dan budaya SAD. Menurut mereka, negara seharusnya tidak hanya menegakkan hukum berdasarkan batas formal, tetapi juga memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang diakui dalam UUD 1945 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Mereka menilai, tindakan Jaksa Febrow, meski legal secara hukum, mengabaikan prinsip keadilan substantif, terutama bagi kelompok rentan. Seharusnya, penegakan hukum dilakukan dengan pendekatan restoratif yang melibatkan dialog, pengakuan hak adat, dan solusi jangka panjang yang tidak merugikan komunitas.


Upaya Mediasi dan Jalan Tengah

Setelah tekanan publik meningkat, pemerintah daerah dan lembaga terkait mulai memfasilitasi proses mediasi antara pihak kejaksaan, perwakilan SAD, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hasil dari proses ini belum signifikan, namun ada beberapa kemajuan:

  • Pendataan wilayah adat SAD yang sedang dihuni agar mendapat pengakuan resmi.

  • Pemberian akses terbatas kepada SAD untuk memanfaatkan hutan secara tradisional di luar zona lindung ketat.

  • Pendampingan hukum oleh LSM untuk warga SAD yang tersangkut kasus pidana.

  • Rencana penetapan hutan adat melalui skema pengakuan dari KLHK, meski proses ini panjang dan kompleks.


Realitas Sosial Pasca-Aksi: Retaknya Hubungan dan Krisis Identitas

Salah satu dampak yang jarang dibicarakan namun sangat penting adalah krisis identitas budaya yang dialami generasi muda SAD. Akibat terputus dari hutan, banyak dari mereka kini tidak lagi memahami ritual, pengetahuan lokal, dan nilai-nilai komunitas mereka. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan asimilasi paksa dan hilangnya budaya lokal.

Selain itu, hubungan antara SAD dan aparat hukum menjadi renggang. Mereka melihat jaksa, polisi, dan aparat pemerintah sebagai ancaman, bukan pelindung. Ketegangan ini bisa menimbulkan konflik sosial lebih luas jika tidak ditangani dengan bijak.


Baca juga:Kasus Wanita Copet HP Dompet di Pasar Sentral Makassar Diselesaikan Lewat RJ

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

saya bukan robot *Time limit exceeded. Please complete the captcha once again.

Back To Top