Eks Sekda Cerita Susah Masuk Kebun Sawit Duta Palma: Padahal Itu Daerah Kita
Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, memberikan kesaksian mencengangkan
terkait sulitnya akses masuk ke lahan perkebunan sawit milik perusahaan besar, Duta Palma Group.
Ia menuturkan bahwa meskipun kebun tersebut berada di dalam wilayah administratif daerahnya, namun pemerintah daerah sendiri kesulitan mengakses kawasan tersebut.
Hal ini menjadi sorotan dalam rangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap perusahaan
perusahaan yang diduga menguasai lahan secara tidak sah atau menyalahi aturan perizinan.
Eks Sekda Cerita Susah Masuk Kebun Sawit Duta Palma: Padahal Itu Daerah Kita
Perusahaan Duta Palma Group yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit diketahui memiliki luasan lahan yang cukup besar di Riau.
Namun, dalam beberapa temuan, perusahaan ini diduga mengelola dan menguasai sebagian lahan tanpa izin resmi dari pemerintah.
Menurut eks Sekda, aparat pemerintah daerah kerap merasa seperti “tamu” di wilayah sendiri karena tidak bisa memasuki area kebun tanpa izin
dan pengawalan dari pihak perusahaan. Situasi ini disebut tidak lazim dan menunjukkan adanya dominasi sepihak dalam pengelolaan sumber daya alam daerah.
Akses Terbatas Picu Pertanyaan Tata Kelola
Akses terbatas ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang tata kelola lahan di daerah. Apakah perusahaan besar seperti Duta Palma mendapatkan perlakuan istimewa
atau justru ada celah hukum yang dimanfaatkan untuk menguasai lahan secara berlebihan?
Masyarakat dan aparat pemerintah yang seharusnya memiliki akses bebas untuk kepentingan pelayanan publik dan pengawasan justru mengalami pembatasan.
Fakta ini memperkuat dugaan bahwa tata kelola lahan dan perizinan di daerah masih jauh dari transparansi dan akuntabilitas.
Pemerintah Daerah Kehilangan Kendali
Dalam testimoninya, mantan pejabat tersebut mengungkapkan bahwa pemerintah daerah seperti kehilangan kendali atas wilayahnya sendiri.
Ketika ada laporan dari masyarakat mengenai konflik agraria atau dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh
kegiatan perusahaan, aparat kesulitan melakukan investigasi langsung karena akses yang dipersulit.
Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan semangat otonomi daerah yang semestinya memberikan kewenangan
penuh kepada pemerintah lokal dalam mengatur wilayah dan sumber daya alam di dalamnya.
Imbas Sosial dan Lingkungan Jadi Kekhawatiran
Lebih lanjut, pembatasan akses ini berdampak pada berbagai aspek, terutama sosial dan lingkungan Masyarakat sekitar tidak memiliki kejelasan informasi terkait status lahan
batas konsesi, dan tanggung jawab perusahaan terhadap wilayah operasinya.
Selain itu, dugaan pencemaran lingkungan dan perusakan hutan pun tidak dapat ditindaklanjuti dengan cepat karena aparat pemerintah tidak bisa melakukan inspeksi langsung ke lokasi.
Hal ini menjadi hambatan besar dalam upaya penegakan hukum lingkungan dan pemulihan kawasan hutan.
Sorotan Publik dan Desakan Audit Independen
Munculnya pernyataan eks Sekda ini menambah tekanan publik terhadap perusahaan perkebunan besar agar lebih transparan dalam menjalankan operasionalnya.
Desakan agar pemerintah pusat dan daerah melakukan audit menyeluruh terhadap kepemilikan dan penggunaan lahan semakin menguat.
Audit tersebut diharapkan dapat memberikan peta yang jelas tentang siapa yang memiliki dan mengelola lahan, apakah sesuai dengan izin dan apakah berdampak positif terhadap masyarakat dan lingkungan.
Pemerintah Diminta Tegas Menindak Pelanggaran
Berangkat dari kesaksian ini, berbagai pihak mendesak agar pemerintah bertindak tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melanggar hukum.
Negara tidak boleh kalah oleh korporasi yang bertindak seolah-olah berada di atas hukum.
Jika benar terjadi pelanggaran dalam penguasaan lahan oleh Duta Palma, maka harus ada langkah hukum yang diambil
untuk mengembalikan kedaulatan wilayah kepada pemerintah dan masyarakat lokal.
Penutup: Momentum Perbaikan Tata Kelola Sumber Daya
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara adil, transparan, dan berpihak kepada rakyat.
Pemerintah daerah harus diberikan ruang dan kekuatan untuk mengelola wilayahnya, tanpa intervensi atau dominasi korporasi yang melampaui batas.
Langkah perbaikan tata kelola tidak boleh ditunda, agar kejadian serupa tidak terus berulang dan masyarakat tidak menjadi korban dari ketimpangan penguasaan lahan.
Pemerintah pusat, melalui kementerian terkait, harus bergerak cepat memastikan setiap jengkal tanah di Indonesia digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan segelintir elit bisnis.
Baca juga:Isi Lengkap Surat Trump ke Prabowo soal Serangan Tarif 32 Persen