Penguatan Kerja Sama ASEAN Dalam Hadapai Oleh Tarif Trump secara resmi memberlakukan kebijakan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara yang memiliki neraca perdagangan surplus dengan Amerika Serikat. Kebijakan tersebut diumumkan pada awal April 2025 dan langsung memicu kekhawatiran luas di kawasan.
Kebijakan tersebut tidak mengenal pengecualian, bahkan seluruh negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) turut terdampak. Indonesia dikenai tarif sebesar 32 persen, sementara Malaysia dan Singapura masing-masing menghadapi tarif 24 persen dan 10 persen.
Negara-negara lain di kawasan pun tidak luput dari kebijakan ini, dengan Vietnam dikenai tarif sebesar 46 persen, Thailand 36 persen, Kamboja 49 persen, dan Filipina—yang dikenal sebagai sekutu dekat AS—mendapat tarif 17 persen.
Secara mengejutkan, bahkan kawasan terpencil yang tidak memiliki penduduk tetap seperti Kepulauan Heard dan McDonald pun ikut dikenakan tarif. Menteri Perdagangan Amerika Serikat, Howard Lutnick, menyampaikan bahwa pemberlakuan tarif terhadap wilayah tersebut dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan jalur perdagangan oleh negara-negara yang tengah dikenai tarif tinggi.
Penguatan Kerja Sama ASEAN Oleh Tarif Trump
Menanggapi kebijakan sepihak ini, para menteri perdagangan dari 10 negara anggota ASEAN sepakat untuk tidak mengambil langkah balasan. Sebaliknya, ASEAN menyatakan niat untuk mengadakan dialog konstruktif guna meredam dampak kebijakan tersebut terhadap stabilitas ekonomi regional.
Dalam pernyataan bersama, para menteri menilai bahwa pengenaan tarif secara sepihak oleh Amerika Serikat menciptakan ketidakpastian yang besar dalam perdagangan internasional, dan memberikan tekanan signifikan terhadap sektor usaha mikro, kecil, dan menengah, serta rantai pasok global.
“Kebijakan tarif yang belum pernah terjadi sebelumnya ini dikhawatirkan akan mengganggu arus investasi serta perdagangan di tingkat regional maupun global,” demikian kutipan dari pernyataan resmi ASEAN.
Walau telah sepakat dalam pernyataan kolektif, negara-negara ASEAN tetap menempuh langkah negosiasi bilateral masing-masing dengan Pemerintah Amerika Serikat. Berbagai negara berlomba-lomba untuk memperoleh dispensasi tarif dan mengevaluasi kembali hubungan dagangnya dengan AS.
Vietnam, misalnya, mengusulkan penghapusan tarif secara total agar dikenai bea masuk sebesar nol persen. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh pihak AS. Sementara itu, Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengirim tim perunding ke Washington D.C. pada 16 hingga 23 April 2025 untuk mengadakan pertemuan dengan sejumlah pejabat tinggi AS, termasuk perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR), Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Perdagangan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa dalam perundingan tersebut, Indonesia menawarkan relaksasi sejumlah regulasi non-tarif, seperti pelonggaran persyaratan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), evaluasi kebijakan pembatasan impor barang dari AS, serta potensi peningkatan impor energi fosil dari Amerika Serikat.
Dalam Hadapai Oleh Tarif Trump
Menghadapi dinamika global yang dipicu oleh kebijakan tarif Trump, sejumlah pemangku kepentingan menilai pentingnya memperkuat solidaritas dan peran institusional ASEAN. Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, menekankan perlunya membangun semangat “Eksepsionalisme ASEAN”, sebuah konsep yang mendorong negara-negara anggota menjadikan solidaritas kawasan sebagai landasan utama dalam merespons krisis global.
Konsep ini sejalan dengan “Eksepsionalisme Amerika”, yang menganggap Amerika Serikat sebagai negara istimewa dan unik di dunia. Dino menilai bahwa semangat ini dapat mempersatukan ASEAN di tengah ketegangan geopolitik dan menjadi kekuatan penyeimbang dalam menjaga stabilitas di kawasan Indo-Pasifik, termasuk dalam menghadapi isu-isu sensitif seperti Laut China Selatan.
Dalam upaya memperkuat konsolidasi kelembagaan ASEAN, pakar hubungan internasional Rizal Sukma mengusulkan agar ASEAN segera melakukan revisi terhadap Piagam ASEAN. Menurutnya, pembaruan Piagam ini penting untuk menguatkan ketahanan institusi melalui reformasi pembiayaan, pengambilan keputusan yang lebih efisien, serta mekanisme penanganan konflik kawasan yang lebih adaptif.
Selain itu, Rizal juga mendorong penguatan berbagai kerangka kerja sama ASEAN, seperti ASEAN Plus Three dan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), yang melibatkan lima mitra strategis ASEAN yakni Australia, China, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru.
“Saat negara-negara lain cenderung mengedepankan pendekatan unilateral atau kelompok terbatas (minilateral), ASEAN justru harus memperkuat posisinya sebagai pelopor multilateralisme yang inklusif dan berorientasi pada kepentingan bersama,” ujar Rizal.
Bagi Indonesia, proses reformasi ASEAN juga menjadi bagian penting dari strategi nasional untuk memperkuat ketahanan ekonomi dan politik luar negeri. Langkah ini memungkinkan Indonesia memperluas pengaruhnya di kawasan serta meningkatkan posisi tawarnya di tingkat global.
Baca Juga : Denmark Perempuan Wajib Militer Mulai Pada Januari Tahun 2026
Terkait hubungan bilateral dengan Amerika Serikat selama masa kepemimpinan Trump yang baru dimulai, Dino Patti Djalal menekankan perlunya komunitas global menyiapkan skenario alternatif apabila AS menunjukkan sikap yang semakin tidak kooperatif. Ia merujuk pada insiden ketika AS mengusulkan perubahan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) secara sepihak, yang akhirnya ditolak oleh negara-negara anggota meskipun AS mengancam tidak akan menandatangani konvensi tersebut.
“Dengan atau tanpa Amerika Serikat, komunitas internasional harus tetap melangkah ke depan,” ujar Dino.
Sementara itu, Rizal Sukma menambahkan bahwa dampak kebijakan ekonomi Trump kemungkinan masih akan dirasakan dalam satu dekade ke depan, bahkan setelah masa jabatannya berakhir. Hal ini mencerminkan besarnya pengaruh kebijakan ekonomi AS terhadap dinamika global.
Meskipun keputusan Trump untuk menangguhkan penerapan tarif resiprokal pada 9 April 2025 sempat memberikan harapan bagi stabilitas pasar, namun ketegangan dagang dan ketidakpastian ekonomi tetap menjadi tantangan nyata yang harus dihadapi bersama.
Kebijakan tarif ini seharusnya menjadi pengingat bagi ASEAN untuk memperkuat peran kolektifnya, mengoptimalkan kerja sama regional, serta menyusun strategi jangka panjang dalam menghadapi dinamika geopolitik dan ekonomi yang kian kompleks.